Tema kali ini adalah bagaimana memandang keilmuan, yang di masa lalu cenderung dikuasai oleh para orang suci dan raja-raja sakti mandraguna. Inilah bagian dari khasanah keilmuan, Ilmu MOKSA.
Kata MOKSA berasal dari bahasa Sansekerta yakni dari akar kata “MUC” yang berarti “be freed” (bebas) atau “freeing” (membebaskan). Dalam Kitab Hindu “Mahanirvana Tantra”, MOKSA diartikan sebagai “Bebas dari ikatan samsara dan berakhir dengan bersatunya jiwatman dengan paratman.”
Kata MOKSA sebenarnya tidak dikenal dalam kosa kata bahasa Jawa atau pun bahasa Sunda. Bahasa Jawa hanya mengenal kosa kata “MOKTA”, yang kemudian mengalami transliterasi bahasa menjadi “MUKTI”, yang berarti “mencapai kebebasan jiwa”.
Sedangkan Bahasa Sunda hanya mengenal kosa kata “MOKTENG”, merupakan akronim dari kata “MOKTA ING”, kemudian dimaknai sebagai “NGAHIYANG”, berarti “Menghilang”.
Kata “MOKTA” ini dapat kita jumpai dalam Inskripsi Prasasti Batu Tulis Bogor.
“Wangna pun ini sakakala, prebu ratu purane pun, diwastu diya wingaran prebu guru dewataprana, di wastu diya wingaran sri baduga maharaja ratu hajj di pakwan pajajaran seri sang ratu dewata pun, ya nu nyusuk na pakwan, diya anak rahyang dewa niskala sa(ng) sida MOKTA di mguna tiga, i(n) cu rahyang niskala-niskala wastu ka(n) cana sa(ng) sida MOKTA ka nusalarang, ya siya ni nyiyan sakakala gugunungan ngabalay, nyiyan samida, nyiyan sa(ng)h yang talaga rena mahawijaya, ya siya, o o i saka, panca pandawa e(m) ban bumi.”
Artinya:
“Semoga selamat, ini Tanda Peringatan Prabu Ratu yang telah wafat, Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (Iagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, yang membuat Parit Pakuan. Dia Putera Rahyang Dewa Niskala yang MOKTA di GUNA TIGA, cucu Rahyang Niskala Wastu Kencana yang MOKTA ke NUSA LARANG, yang membuat tanda peringatan gunung-gunungan dari batu, membuat (hutan) Samida, membuat Sanghyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) lima pandawa emban bumi”.
Dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno), MOKSA disebut dengan kosa kata “KAMUKSAN”, yang berarti “wafat dengan disertai sirna badannya, wadagnya atau jasadnya”.
Sebenarnya, kuranglah tepat jika dikatakan bahwa MOKSA disamakan dengan wafat. Orang yang MOKSA ini belumlah wafat, karena wafat merupakan satu fenomena tersendiri, yang sangat berbeda.
MOKSA, lebih tepat dimaknai dengan “berpindahnya tempat tinggal seseorang, jasadnya dan ruhaninya, dari alam nyata ke alam gaib yang berbeda dimensi.”
Tentu akan mengundang banyak perdebatan ketika mendiskusikan Ilmu MOKSA ini. Khususnya bagi yang lahir mulai awal abad 20, sebagian dari mereka ini, pasti akan menolak dengan mengatakan bahwa MOKSA hanyalah sebuah dongeng dan mitos belaka, yang tidak pernah benar-benar terjadi. Begitu pun sebagian dari kalangan fanatik agama, sudah tentu akan mengatakan bahwa MOKSA itu sesat dan menyesatkan.
Soal percaya atau pun tidak percaya dengan tulisan ini, silakan saja. Saya sebatas menyampaikan, agar diketahui, dan bagi yang ingin menambah khasanah keilmuan spiritual saja.
Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber, seperti diskusi secara lahiriah maupun batiniah, dengan guru-guru spiritual, khususnya yang mendalami keilmuan terkait.
Namun, tidak semua hal berkaitan dengan Ilmu MOKSA, saya bahas dalam tulisan ini, karena ada etika dan nilai-nilai yang harus dipatuhi.
Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut artikel ini, mari abaikan dulu ego di dalam diri masing-masing, sebagaimana pesan Imam Abu Hamid Al-Ghazali ra, bahwa hikmah tidak akan pernah dapat dipetik oleh seseorang yang masih memiliki ego di dalam hatinya.
“Barang siapa diberi hikmah maka ia telah diberi kebaikan yang banyak. Namun, elemen-elemen hikmah tersebut tidak akan ditemukan di dalam hati yang berisi syahwat (ego). Sebab tidak ada yang bisa mengambil pelajaran dari hikmah tersebut, kecuali orang-orang yang menggunakan akalnya.” (Imam Ghazali)
Untuk memahami makna MOKSA, saya cenderung memaknainya langsung dari kosa kata yang digunakan oleh para leluhur kita, yakni “MOKTA”.
Dalam kaidah Ilmu Gematria, kata “MOKTA” tersusun dari rangkaian huruf “Mim – Kaf – Ta” dengan nilai gematria sbb:
— Mim = 40.
— Kaf = 20.
— Ta = 400.
“MOKTA” = Mim-Kaf-Ta = 40+20+400 = 460.
Untuk memaknai nilai gematria “460” ini, maka kita harus mengkonversinya terlebih dulu menjadi huruf sbb:
460 = 60 + 400.
60 = nilai gematria dari huruf Sin.
400 = nilai gematria dari huruf Ta.
Sehingga: 460 = 60+400 = Sin-Ta (dibaca: “SATO” atau “SAT”).
Lalu apa itu “SATO” dan apa itu “SAT”.
“SATO” dalam Bahasa Sunda artinya “hewan atau binatang”.
Dalam Ajar Pikukuh Sunda yakni dalam “Serat Sewaka Dharma 499” disebutkan bahwa Manusia dibedakan menjadi dua yakni: “MANUSA” dan “JALMA”.
“MANUSA” berasal dari Bahasa Sansekerta, dari kata MANA, berarti “pikiran/akal” dan ASSA, berarti “memiliki”. Sehingga “MANUSA” bermakna “makhluk yang memiliki pikiran/akal”.
Sedangkan “JALMA” artinya “JELMAAN”, yakni secara fisik wujudnya adalah MANUSIA, tapi secara entitas batin atau entitas jiwa wujudnya adalah “SATO” yakni “hewan / binatang”.
Jadi, “SATO” menurut “Serat Sewaka Dharma 499” bermakna “entitas batin/jiwa dalam diri manusia, yang berwujud hewan/binatang”.
Inilah makna dari kata “MOKTA” menurut kaidah Ilmu Gematria. Dan makna ini sesuai dengan apa yang diyakini dalam tradisi Ajaran Hindu bahwa “ATMA JNANA” yakni “kesadaran akan sang diri” adalah kunci utama untuk meraih “MOKSA”.
Dalam literatur lslam, “ATMA JNANA”, bermakna “Kesadaran akan Sang Diri” ini disebut sebagai “MA’RIFATUN NAFS”, yang bermakna “Mengenal Sang Diri” atau “Mengenal Jiwa”.
Karena itulah, sebelum menjalani tata laku MOKSA, maka seseorang harus membekali dirinya terlebih dulu dengan pengetahuan suci tentang Dzat Tuhan, salah satu caranya adalah “Mengenal Sang Diri” atau “Mengenal Jiwa” sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadits,
“Wa man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” — Siapa yang mengenal Dirinya (Jiwanya) maka ia akan mengenal Tuhannya.
Kembali kepada pemaknaan “MOKSA” menurut Ilmu Gematria sebagai “SATO”. Ketahuilah, setidaknya ada 10 (sepuluh) jenis SATO (Hewan/Binatang), sebagai Entitas Batin/Jiwa dalam diri manusia, yakni:
1. SATO ‘ANJING’
Dalam literatur Islam disebut sebagai “NAFS KALBIYAH”. Perwujudan dari entitas SATO ini antara lain: suka memonopoli sendiri, suka menilai negatif orang lain (su’udzon) dan suka menghina orang lain.
2. SATO ‘KELEDAI’
Dalam literatur Islam disebut sebagai “NAFS HIMARIYAH”. Perwujudan dari entitas SATO ini antara lain: pandai memikul namun tidak mengerti secuil pun apa yang dipikulnya. Dengan kata lain, ia tidak memahami masalah.
3. SATO ‘SERIGALA’
Dalam literatur Islam disebut sebagai “NAFS SABU’IYAH”. Perwujudan dari entitas SATO ini antara lain: suka menyakiti atau menganiaya orang lain dengan cara apapun.
4. SATO ‘TIKUS’
Dalam literatur Islam disebut sebagai “NAFS FA’RIYAH”. Perwujudan dari entitas SATO ini antara lain: suka merusak, menilep, mencuri, korupsi atau sejenisnya.
5. SATO ‘HEWAN BERBISA’
Dalam literatur Islam disebut sebagai “NAFS DZATIS SUHUMI WA HAMATI WAL HAYATI WAL AQRABI”. Perwujudan dari entitas SATO ini antara lain: suka menyindir-nyindir orang, suka menyakiti hati orang lain, dengki, dendam, dan sejenisnya.
6. SATO ‘BABI’
Dalam literatur Islam disebut sebagai “NAFS KHINZIRIYAH”. Perwujudan dari entitas SATO ini antara lain: suka kepada yang kotor,busuk, apek, dan menjijikkan.
7. SATO ‘BURUNG MERAK’
Dalam literatur Islam disebut sebagai “NAFS THUSIYAH”. Perwujudan dari entitas SATO ini antara lain: suka menyombongkan diri, suka pamer, suka berlagak, busung dada, dan sebagainya.
8. SATO ‘UNTA’
Dalam literatur Islam disebut sebagai “NAFS JAMALIYAH”. Perwujudan dari entitas SATO ini antara lain: tidak mempunyai sopan santun, tidak mempunyai kasih sayang, tidak mempunyai tenggang rasa sosial, tidak peduli kesusahan orang, yang penting dirinya selamat dan untung.
9. SATO ‘BERUANG’
Dalam literatur Islam disebut sebagai “NAFS DUBBIYAH”. Perwujudan dari entitas SATO ini antara lain: biarpun kuat dan gagah, tapi akalnya tidak dipakai.
10. SATO ‘MONYET’
Dalam literatur Islam disebut sebagai “NAFS QIRDIYAH”. Perwujudan dari entitas SATO ini antara lain: jika diberi ia mengejek, jika tidak dikasih ia mencibir, sinis, dan suka melecehkan/memandang enteng orang lain.
Inilah makna sebenarnya dari kata “MOKTA”, yang berarti “mencapai kebebasan jiwa”, lebih tepatnya adalah “mencapai kebebasan jiwa dari segala entitas jiwa yang bernama SATO”.
Dalam kaidah Ilmu Gematria, kata “MOKTA” yang memiliki nilai gematria “460” selain dimaknai sebagai “SATO” juga dapat dimaknai sebagai “SAT”.
Lalu apa itu “SAT”
“SAT” dalam bahasa Avesta (Persia) berarti “ADA”. Konsep “SAT” ini kemudian dijabarkan sebagai Konsep “KUADRAN TETRALEMMA”, yang membagi “SAT” menjadi 4 (empat) entitas, yakni:
1. SAT.
2. ASAT.
3. SAT-ASAT.
4. ANIRVACANIYA.
Pembahasannya:
1. SAT
“SAT” memiliki arti “ADA”. Menurut konsep “SAT”, Alam Semesta dan segala isinya berasal dari sesuatu yang ADA, disebut sebagai “SAT”, yang dapat dipahami, bersifat konkrit, afirmatif, dan kekal abadi. Maka setelah alam semesta dan segala isinya musnah, maka yang akan tetap ADA hanyalah “SAT” sebagai Dzat Yang Abadi.
2. ASAT
“ASAT” secara sederhana dimaknai sebagai “Dualisme dari Yang ADA dan Akan Terus ADA selamanya sampai kapan pun”. Jika “SAT” berarti “ADA” memiliki Sifat Keabadian, maka “ASAT” memiliki sifat kebalikannya, yakni memiliki sifat NIHILISME atau “KETIADAAN”. Dalam Konsep “ASAT” bahwa segala sesuatunya di alam semesta ini hakikinya adalah “ASAT” atau “TIADA” karena yang ADA hanyalah “SAT” yang Maha ABADI.
3. SAT-ASAT
“SAT-ASAT” memiliki arti “ADA sekaligus TIDAK ADA”. Menurut konsep “SAT-ASAT”, Alam semesta dan segala isinya dari ADA akan kembali menjadi TIDAK ADA dan konsep ini disebut sebagai “Annihilation” atau “Pemusnahan”.
4. ANIRVACANIYA
“ANIRVACANIYA” memiliki arti “segala sesuatu di alam semesta ini hanyalah ILUSI”. Menurut konsep “ANIRVACANIYA”, Alam semesta dan segala isinya hanyalah merupakan pantulan dari rupa dan wujud Tuhan.
Pengetahuan tentang 4 (empat) entitas “SAT” ini sebenarnya telah lama dikenal oleh leluhur kita sebagai konsep 3 (tiga) “TATTWA”, yang bermakna “Tiga Hakikat Tuhan”, dikenal sejak ribuan tahun lalu dalam ajaran Agama asli khas Nusantara, bernama “SAIWASIDDHANTA”, yang menitikberatkan kepada pengetahuan spiritual tinggi, khususnya pengetahuan tentang tata cara MOKSA melalui laku semedhi atau meditasi.
Dalam ajaran Agama “SAIWASIDDHANTA” disebutkan bahwa sebelum melakukan laku MOKSA, maka seseorang harus terlebih dulu membekali dirinya dengan pengetahuan tentang Dzat Mutlak Yang Tertinggi, yang memiliki Tiga “TATTWA” sebagai berikut:
1. SIWA-TATTWA
TATTWA yang pertama ini bersifat NISKALA, berarti “tidak berwujud” dan TATTWA ini disebut PARAMASIWA atau PARAMESWARA. TATTWA inilah yang dalam Bahasa Avesta (Persia) disebut sebagai “ASAT”.
2. SADA-SIWA-TATTWA
TATTWA yang kedua ini bersifat SAKALA-NISKALA, berarti “berwujud-tak berwujud”. TATTWA inilah yang dalam Bahasa Avesta (Persia) disebut sebagai “SAT-ASAT”.
3. SAKALA-TATTWA
TATTWA yang ketiga ini bersifat SAKALA, berarti “berwujud” dan berhubungan langsung dengan peristiwa alam, yaitu penciptaan alam, penjagaan dan pengaturan alam, serta penghancuran alam. TATTWA inilah yang dalam Bahasa Avesta (Persia) disebut sebagai “SAT”.
Jadi, leluhur kita di masa lalu tidak pernah menyembah selain kepada Tuhan Yang Maha Agung. Meskipun ia adalah seorang Dewa, Bhatara atau Sang Hyang sekali pun, semua itu tetap mereka anggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh TUHAN, dan tentunya tidak layak untuk disembah. TUHAN-lah yang mereka yakini dan mereka sembah, yang telah mereka pahami sebagaimana terdapat dalam ajaran Agama SAIWASIDDHANTA tersebut.
Karena itulah, untuk bisa MOKSA, maka seseorang harus membekali dirinya terlebih dulu dengan pengetahuan suci tentang Dzat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dalam tradisi Ajaran Hindu disebut 4 (empat) YOGA, sebagai MARGA (jalan) untuk mencapai MOKSA, yakni:
1. KARMA YOGA, yakni berbakti demi Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. JNANA YOGA, yakni memahami Tuhan Yang Maha Kuasa.
3. RAJA YOGA, yakni bermeditasi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
4. BHAKTI YOGA, yakni melayani Tuhan Yang Maha Kuasa dengan bakti yang tulus.
Jadi, menurut ajaran Agama SAIWASIDDHANTA sebelum seseorang melakukan MOKSA, maka ia harus terlebih dulu menguasai berbagai ilmu yang dimulai dari tingkat Kanuragan hingga sampai kepada tingkat Kasampurnaan Diri, yang dalam Agama Islam disebut dengan istilah “Insan Kamil” atau dengan kata lain ia harus terbiasa dengan yang namanya “olah raga” dan “olah batin”.
Artinya, dalam kehidupan sehari-hari, mereka itu sudah terbiasa dalam urusan TIRAKAT (mengurangi makan, minum, dan tidur), berpuasa, bahkan bertapa brata (tidak makan, tidak minum dan tidak bergerak) dalam waktu tertentu. Dan hal ini sudah dilakukan oleh leluhur kita, tidak hanya dalam waktu satu atau dua tahun saja, melainkan dilakukan selama puluhan bahkan ratusan tahun.
Sebenarnya ada cara yang jauh lebih mudah dan lebih cepat untuk menjalankan laku MOKSA jika sekiranya kita mengetahui rahasianya.
Dalam sebuah diskusi batiniah saya dengan Sang Guru, terungkap bahwa laku MOKSA dapat dilakukan dalam waktu jauh lebih singkat dan proses jauh lebih cepat, jika kita mengetahui Rahasia dari MOKSA itu sendiri, yakni: Pertama, terkait “apa yang dibaca” dalam menjalankan laku MOKSA. Dan Kedua, terkait “kapan waktu yang tepat” dalam menjalankan laku MOKSA.
Ketika sudah mengetahui kedua rahasia ini, maka niscaya proses MOKSA pun dapat dengan mudah dilakukan dalam waktu jauh lebih singkat dan proses jauh lebih cepat.
Namun terkait kedua rahasia ini, MOHON MAAF saya tidak dapat mengungkapkannya dalam tulisan ini. Karena hal itu hanya boleh disampaikan dan diajarkan secara langsung tatap muka dengan Sang Guru, dan itu pun hanya kepada mereka yang benar-benar serius ingin menjalankan laku MOKSA.
Selanjutnya apa yang terjadi, ketika seseorang telah berhasil menjalankan laku MOKSA ini?
Sang Guru menyampaikan bahwa dimensi RUANG dan WAKTU diciptakan Allah SWT dengan jumlah 103 lapisan dimensi. Jumlah 103 lapisan dimensi ruang dan waktu ini kemudian diabadikan dalam Kitab Suci Al-Qur’an sebagai kodifikasi nomor Surat ke-103 yakni Surat AL-ASHR yang berarti “WAKTU”, tepatnya bermakna “103 lapisan dimensi ruang dan waktu” dimana pada masing-masing lapisan dimensinya tersebut, dihuni oleh jenis makhluk yang berbeda-beda.
Dalam Kitab Veda Bhagavata Purana disebutkan sbb:
“Bumi sejatinya berbentuk seperti Bunga Teratai datar, dengan dimensi-dimensi berbeda yang bisa dilihat sekaligus.”
Di alam nyata duniawi yang kita tempati saat ini, kita hidup bersama dengan berbagai spesies hewan dan tumbuhan adalah “Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-3”. Sedangkan makhluk bernama JIN menempati “Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-4”.
Jadi, proses MOKSA itu terjadi dalam Dua Tahapan.
TAHAPAN PERTAMA, ketika hendak MOKSA, maka terlebih dulu seseorang akan membagi dirinya atau membelah dirinya menjadi dua diri, atau lebih banyak lagi (semakin berat dan sulit proses laku MOKSA yang dijalaninya, akan semakin banyak duplikat diri yang dihasilkan). Diri yang pertama akan lebih dulu berpindah tempat ke alam dimensi lainnya, tepatnya berpindah ke “Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-5”. Sedangkan duplikat dirinya yang kedua, ketiga atau lebih, akan tetap tinggal di alam nyata duniawi selama beberapa waktu yang telah ditentukan.
TAHAPAN KEDUA, setelah 1 sampai 3 tahun, barulah duplikat diri seseorang yang masih berada di alam nyata duniawi, akan ikut berpindah ke “Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-5”, untuk segera bisa menyatu kembali dengan belahan dirinya yang lain, yang telah lebih dulu berpindah ke “Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-5“.
Pada TAHAPAN KEDUA ini dilakukan dengan 2 (dua) cara, yakni:
1. Berpindah SEBELUM Kematian.
Seseorang yang MOKSA dengan cara pertama ini, biasanya akan lenyap tubuh jasad ragawinya sebelum ia mengalami kematian, atau bisa juga tubuh jasad ragawinya diangkat naik ke langit, sebagaimana terjadi pada Kisah Nabi Isa as yang diabadikan dalam Al-Qur’an.
Cara MOKSA yang pertama ini ternyata juga pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW masih hidup.
Setelah perang Uhud, Rasulullah SAW menikahi Zaynab ra putri Khuzaymah dari suku ‘Amir, janda dari ‘Ubaydah ra, yang dikenal sebagai ‘ibu kaum papa’.
Perkawinan ini mendekatkan Abu Bara’ dari suku ‘Amir kepada Rasulullah SAW. Ketika Islam diperkenalkan kepadanya, ia tidak menolaknya. Saat itu ia belum memeluk Islam, namun meminta agar beberapa orang muslim diutus untuk mendakwahkan Islam kepada seluruh warga sukunya.
Rasulullah SAW mengatakan bahwa beliau khawatir, jika utusan beliau akan diserang oleh suku Ghatafan.
Abu Bara’ sebagai kepala suku ‘Amir berjanji akan melindungi para utusan, maka Rasulullah SAW mengutus Empat Puluh Sahabat, yang benar-benar memahami Islam dan menunjuk Mundzir ibnu ‘Amr ra sebagai pemimpin.
Di antara para utusan terdapat ‘Amir ibnu Fuhayrah ra, bekas budak Abu Bakar ra, yang dipilih menemani dia dan Nabi ketika hijrah, dengan cara menggembalakan kambing untuk menghapus jejak di belakang perjalanan Rasulullah SAW dan Abu Bakar ra.
Keponakan Abu Bara’ yang berambisi menggantikan kedudukannya sebagai kepala suku, membunuh salah seorang sahabat yang diutus Rasulullah SAW untuk mengantarkan surat kepada Abu Bara’.
Abu Bara’ meminta warga sukunya agar menghentikan pembunuhan terhadap sahabat Rasulullah SAW lainnya.
Ketika warga suku ‘Amir ternyata lebih mematuhi Abu Bara’, sang keponakan yang frustasi menghasut dua kabilah dari suku Sulaym yang terlibat permusuhan dengan Madinah.
Mereka segera mengirim satu pasukan berkuda dan membantai habis semua utusan Rasulullah SAW di dekat sumur Ma’unah, kecuali dua sahabat yang sedang memberi makan unta di padang rumput, yakni Harits ibnu Simmah ra dan ‘Amr dari Dhamrah ra, salah satu warga kabilah Kinanah, lolos dari pembantaian.
Saat mereka berdua kembali dari padang rumput, mereka terkejut melihat banyak sekali burung bangkai terbang rendah di atas perkemahan mereka, seakan berada di suatu medan perang dimana pertempuran baru saja berakhir.
Mereka melihat sahabat-sahabatnya terkapar wafat di atas genangan darah, sementara para penunggang kuda dari Bani Sulaym berdiri di dekat mereka asyik berbincang dan tidak menyadari kehadiran mereka berdua.
Melihat pemandangan tersebut, ‘Amr hendak melarikan diri, namun Harits berkata, “Aku tak akan pernah mundur dari medan perang, dimana Mundzir telah wafat di atasnya.” Maka Harits segera maju menghadapi para penunggang kuda itu, menyerang dengan tangkas dan menewaskan dua orang sebelum akhirnya ia terkalahkan dan tertawan.
Anehnya para penunggang kuda tersebut nampaknya enggan membunuh atau membalas dendam, meskipun dua teman mereka telah tewas.
Lalu mereka menanyakan apa yang diinginkan Harits dan ‘Amr dari mereka.
Harits menjawab bahwa ia ingin tahu dimana mayat Mundzir dan menantang bertarung dengan mereka.
Mereka mengabulkan permintaannya dan Harits berhasil membunuh dua musuhnya sebelum dia sendiri akhirnya terbunuh. ‘Amr dibebaskan dan mereka menyuruhnya memperkenalkan nama-nama sahabatnya yang telah wafat satu per satu.
‘Amr mengamati sahabat-sahabatnya satu per satu dan memperkenalkan mereka. Kemudian mereka menanyakan adakah sahabat ‘Amr yang tidak ditemukan di situ?
“Aku tidak menemukan jasad ‘Amir ibnu Fuhayrah ra bekas budak Abu Bakar ra,” jawabnya.
“Apa kedudukannya di antara kalian?” tanya mereka.
“Dia adalah orang terbaik di antara kami, salah seorang sahabat utama Rasulullah SAW,” jawab ‘Amr.
“Maukah engkau mendengar cerita kami tentang dia?” tanya mereka.
Maka dipanggillah seorang pria bernama Jabbar, yang mengaku telah membunuh ‘Amir. Jabbar bercerita bahwa dia telah menusuk ‘Amir dengan tombak dari belakang hingga tembus ke dadanya.
Dan pada tarikan nafas terakhir, ‘Amir mengucapkan “Aku telah mendapatkan kemenangan dari Allah!”
“Bagaimana mungkin ia mengatakan itu?” Pikir Jabbar, yang merasa dirinya lebih berhak merasa menang.
Dengan takjub dia mencabut tombaknya dan lebih takjub lagi, ketika dia menyaksikan tubuh ‘Amir ibnu Fuhayrah terangkat ke atas oleh tangan-tangan gaib, terus naik ke atas langit, hingga tak terlihat lagi.
Ketika dijelaskan oleh ‘Amr bahwa yang dimaksudkan ‘kemenangan dari Allah’ adalah surga, Jabbar langsung masuk Islam.
Setelah Rasulullah SAW mendengar peristiwa itu, beliau mengatakan bahwa para malaikat telah mengangkat ‘Amir ibnu Fuhayrah ke atas ‘Illiyun, yaitu surga yang tertinggi.
2. Berpindah SETELAH Kematian.
Seseorang yang MOKSA dengan cara kedua ini akan tetap mengalami kematian, namun biasanya ketika akan dikubur, maka jasad ragawinya akan langsung menghilang dan hanya tersisa kain kafannya saja. Atau ada pula yang jasad ragawinya tetap ada ketika dikubur, namun jika kuburannya digali kembali maka jasad ragawinya sudah tidak ada lagi tanpa bekas.
Cara MOKSA yang kedua ini rupanya juga pernah terjadi dalam Sejarah Islam, sebagaimana disebutkan dalam Kitab “Durratun Nashihin” hal. 43-44, karya Syeikh Utsman bin Hasan al Khaubari ra.
Diceritakan, bahwa sesungguhnya di Baitul Maqdis ada seorang perempuan ahli ibadah, jika tiba bulan Rajab, ia membaca surat Qul Huwallahu Ahad setiap hari sebanyak 12.000 kali. Dia melepas pakaian lusuhnya dan berganti mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu.
Pada suatu ketika dalam bulan Rajab, ia jatuh sakit dan berwasiat pada puteranya, apabila ia mati supaya dikubur bersama pakaiannya yang terbuat dari bulu, akan tetapi si anak mengkafani jenazah ibunya dengan pakaian yang mahal, dengan tujuan pamer kepada orang-orang.
Syahdan, si anak bermimpi melihat ibunya berkata padanya:
“Wahai anakku, kenapa engkau tidak melaksanakan wasiatku? Sesungguhnya aku tidak ridha kepadamu.”
Maka si anak kaget dan terbangun dari tidurnya. Dia cepat-cepat menggali kembali kuburan ibunya, namun dia tidak mendapati ibunya di dalam kuburnya. Dia pun bingung dan menangis. Lalu, dia pun mendengar suara: “Tidaklah engkau tahu, bahwa barang siapa yang mengagungkan bulan Kami, bulan Rajab, maka tidak akan Kami tinggalkan sendirian di dalam kuburnya.”
Dari penjelasan kedua Tahapan MOKSA inilah, akhirnya membuat saya paham, mengapa bisa ada dua sosok SOEKARNO, yaitu ada Ir. Soekarno dan ada MR. Soekarno. Dan, mengapa petilasan (bukan makam) GAJAH MADA bisa ada di banyak tempat di Nusantara, sebelum akhirnya seluruh duplikat diri GAJAH MADA berpindah ke alam dimensi lain, dan menyatu dengan diri lainnya, yang telah lebih dulu berpindah dimensi.
“Kapan proses MOKSA itu dimulai?”
Semua proses MOKSA dimulai setelah seseorang yang menjalankan proses laku MOKSA sudah bisa melihat sebuah PINTU ANTAR DIMENSI, yang berwarna putih bercahaya, dan PINTU ANTAR DIMENSI ini hanya disediakan bagi mereka yang telah berhasil sukses menjalankan proses laku MOKSA.
Selanjutnya, mereka yang sudah berhasil berpindah tempat ke “Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-5” inilah yang akhirnya dikatakan telah MOKSA. Di sana mereka akan hidup tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka lakukan saat mereka masih berada di dunia nyata. Hanya saja apa yang mereka lakukan di sana sudah tidak lagi semata-mata untuk urusan perut dan di bawah perut. Artinya, kebiasaan buruk yang melekat pada saat mereka masih berada di dunia nyata, tidak lagi mereka lakukan.
Jadi, orang-orang yang telah MOKSA ini akan sangat bahagia dalam hidupnya. Mereka juga bisa melakukan apa saja dan ke mana saja yang mereka inginkan, tanpa alat bantu dan kendaraan, bahkan hanya dalam waktu sekejab mata.
Sesama mereka juga bisa bersosialisasi dengan berbincang-bincang atau berdiskusi tentang banyak hal termasuk tentang apa saja yang sedang terjadi di alam dunia nyata, baik secara langsung tatap muka atau pun dari jarak jauh (telepati).
Tidak ada bahasa yang akan membatasi mereka disana, karena setiap orang bisa berbicara dalam semua bahasa yang ada, meskipun mereka berbeda bangsa dan ras. Begitu pula dengan sandang, pangan dan papan, bukanlah hal pokok bagi mereka semua. Tetapi jika mereka menginginkannya, maka mereka akan mendapatkannya.
Di sana tidak ada batas negara dan tidak pula ada pemimpin. Semua orang memiliki hak sama, tidak ada yang bisa menindas atau pun mencela orang lain. Tidak ada masalah kepercayaan atau agama, siapa pun aman memiliki keyakinannya sendiri. Setiap orang melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Memang beberapa di antara mereka ada yang tetap menjalankan dakwah Islami, sebagaimana yang telah ia lakukan di alam nyata duniawi dulu. Mereka inilah yang disebut sebagai RIJALUL GHAIB dan WALIYULLAH.
“Terjadi apa lagi, pada yang telah MOKSA itu?”
Pada Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-5, seseorang yang telah berhasil MOKSA, diberikan pilihan untuk tetap tinggal di Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-5, atau berpindah ke dimensi lainnya yang lebih tinggi. Tentunya semua itu dengan beberapa persyaratan harus dipenuhi, dan harus berdasarkan kemampuan diri yang bersangkutan.
Semakin “berat” dan “panjang” proses laku MOKSA yang mereka lakukan, maka mereka pun bisa menjelajahi lebih banyak lapisan alam dimensi lainnya, bahkan sampai kepada Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-58 (batas dimensi terakhir), karena mulai Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-59 sampai dengan Dimensi ke-103 adalah tempat khusus bagi para malaikat dan ruh-ruh suci.
Berikut nama-nama Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-3 sampai dengan Dimensi ke-12.
Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-3 disebut “Alam ARYASYI”, tempat manusia, hewan dan tumbuhan tinggal.
Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-4 disebut “Alam MARTAYASYI”, di sinilah para JIN tinggal.
Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-5 disebut “Alam GALATASYI”, di sinilah orang-orang yang MOKSA tinggal.
Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-6 disebut “Alam MALKATASYI”, di sinilah para raja-raja agung yang MOKSA tinggal.
Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-7 disebut “Alam NILBATI”, tempat para Naga tinggal.
Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-8 disebut “Alam WUJUDASYI”.
Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-9 disebut “Alam RAMATASYI”, di sinilah para peri tinggal.
Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-10 disebut “Alam GULATASYI”.
Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-11 disebut “Alam SAMSYI”, tempat para dewa-dewi tinggal.
Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-12 disebut “Alam PALATASYI”, di sinilah para sang hyang, dan nabi-nabi yang masih hidup tinggal.
Dan seterusnya hingga Batas Terakhir Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-58.
“Seperti apa kondisi Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-5 sampai Dimensi ke-58?”
Perlu diketahui bahwa kehidupan pada Alam Ruang dan Waktu Dimensi ke-5 sampai dengan Dimensi ke-58 itu pada dasarnya hampir sama dengan yang ada di atas muka Bumi ini. Ada padang rumput, hutan, gunung, air terjun, sungai, danau, lautan, langit, awan, hujan dan sebagainya. Semuanya tidak jauh berbeda dengan yang ada di alam nyata duniawi, hanya saja di sana wilayahnya jauh lebih luas dan kondisinya terasa lebih indah dan menyenangkan. Bahkan ada beberapa dimensi yang kondisinya tidak bisa lagi dibandingkan dengan kondisi di Bumi ini, karena memang sangat jauh berbeda, dan jauh lebih indah.
“Apakah orang yang MOKSA ini berarti tidak pernah mati?”
Bisa dikatakan demikian. Tetapi di sini perlu dipahami juga bahwa orang yang MOKSA itu bukan berarti ia akan hidup selamanya. Mereka hanya tidak mengalami kematian sebagaimana umumnya manusia di dunia. Mereka tidak pula didatangi oleh malaikat pencabut nyawa untuk diambil nyawanya, namun mereka ini tetap akan mati pada suatu saat nanti. Hanya saja waktunya tidak sekarang, melainkan nanti bersamaan dengan datangnya Hari Kiamat, saat semua makhluk yang ada di alam semesta ini dihancurkan dan binasa.
Apakah orang yang MOKSA ini bisa diartikan sebagai sosok yang umurnya ditangguhkan?”
Benar. Mereka yang MOKSA adalah sosok pribadi-pribadi yang telah ditangguhkan umurnya hingga datangnya Hari Kiamat. Begitulah kehendak Allah SWT, dan hal ini tentunya tidak berlaku bagi semua makhluk yang ada di muka Bumi.
SIMPULAN:
Dapat disimpulkan bahwa MOKSA adalah bagian dari mitologi agama. MOKSA sendiri adalah salah satu karunia terbesar dari TUHAN Yang Maha Kuasa kepada umat manusia, agar ia bisa menjalani kehidupan lain, pada alam dimensi lainnya, dimana di sana sudah tidak lagi terikat dengan ketuaan dan kematian kecuali kiamat.
Tetapi hal ini tidak pernah bisa dipaksakan dan tidak pula mudah untuk ditunaikan. MOKSA sendiri hanyalah sebagai satu pilihan yang bisa diambil oleh seseorang dalam hidupnya. Bagi yang mau dan mampu, dipersilakan saja, karena itu adalah sebuah pilihan hidup pribadi.
Sungguh tidak mudah untuk laku MOKSA dan tidak semua orang bisa berhasil melakukannya. Itu hanya untuk mereka yang sebelumnya telah melakukan latihan keras, dan disiplin, baik raga maupun batinnya. Tujuannya untuk mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan yang sejati.
Maka dari itulah, orang-orang yang mulia, yaitu para Nabi dan Rasul, meskipun mereka tahu namun tidak pernah mengajarkan secara luas tentang MOKSA kepada umatnya.
Mereka berbuat seperti itu karena khawatir bisa memberatkan dan menyengsarakan umatnya, terutama bagi yang lemah fisik dan imannya. Karena sesungguhnya, MOKSA itu bukanlah satu-satunya cara untuk mendapatkan pencerahan sejati. Ada cara lainnya yang lebih mudah dan termaktub di dalam ajaran Tuhan, yaitu mengamalkan ajaran agama yang ada di dalam kitab-kitab suci para Rasul.
Nah Sahabat. Berikut ini ada amalan laku MOKSA yang paling ringan, peninggalan leluhur Jawa, yang diperbolehkan untuk disampaikan tanpa perlu tatap muka langsung dengan Sang Guru.
Jika rutin diamalkan maka perlahan-lahan tanpa disadari, si pembaca akan menjadi luhur budi pekertinya. Kelak tubuhnya akan menghilang atau MOKSA di saat mati, sebuah pertanda kesempurnaan dengan menyatunya raga dan jiwa.
TATA CARA:
Mantra Ilmu MOKSA di bawah ini, hendaknya dibaca setiap hendak mandi, dan setelah mandi.
MANTRA Ilmu MOKSA:
“Jagad bumi alam kabeh, Sumusupa marang badan, Badan sumusupa marang budi, Budi sumusupa marang nyawa, Nyawa sumusupa marang rahsa, Rahsa sumusupa marang cahya, Cahya sumusupa marang atma, Atma sumusupa marang dat, Dat sumusupa marang ingsun, Ingsun jumeneng pribadi, Tanpa timbangan, tanpa lawanan, Ana ing kalaratingsun, Kang Mahamulya, Mahasuci, Sejati saka ing kodratingsun. Sang ireng jeneng moksa pangreksan, sang ening menenng jati rasane, lakune ora katon, pangrasane manusa. Car mancur cahyaning Pangeran sungsum balung rasaning Pangeran, getih daging rasaning Pangeran, otot lamat-lamat rasaning Pangeran, kulit wulu rasaning Pangeran, iya ingsun mancuring Pangeran, jatining manusa, ules putih lungguhku, Pangeran, nek putih rasaning nyawa, badan Pangeran, sang kalebut putih iya ingsun nagara sampurna.”
PANTANGAN dan Anjurannya:
Jangan ngawur dan punya pikiran porno, hendaknya selalu berlaku suci. Jangan banyak makan, makanlah jika sudah lapar benar. Jangan banyak minum, minumlah jika sudah haus benar. Jangan banyak tidur, tidurlah jika sudah mengantuk benar. Jangan banyak bicara, bicaralah seperlunya. Jangan banyak seks, lakukan jika sudah perlu benar. Jangan terlalu bersenang-senang, bersikap sederhana saja.
Wallahu a’lam bish shawab.
Rahayu…
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Twitter: @Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College