Seorang pedagang hewan qurban berkisah tentang pengalamannya:
Seorang ibu datang memperhatikan dagangan saya. Dilihat dari penampilannya, sepertinya tidak akan mampu membeli.
Namun tetap saya hampiri dan menawarkan kepadanya, “Silakan bu…”
Lantas ibu itu menunjuk salah satu kambing termurah sambil bertanya, ”Kalau yang itu berapa Pak?”
“Yang itu Rp.1.500.000,- Bu,” jawab saya.
“Harga pasnya berapa?”, tanya si Ibu.
“Rp.1.250.000,- deh, harga segitu untung saya kecil, tapi biarlah…“ jawab saya.
“Tapi, uang saya hanya Rp.1Juta, boleh pak?”, pintanya.
Waduh, saya bingung, karena itu harga pokok modalnya.
Akhirnya saya berunding dengan teman, dan memutuskan diberikan saja dengan harga itu kepada ibu tersebut.
“Baiklah, ibu boleh membeli kambing saya ini dengan Rp.1Juta,-. Saya antarkan ke rumah ibu, tapi ongkos antarnya nanti ibu yang bayar ya.”, kata saya.
Saya pun mengantar hewan qurban tersebut ke rumah ibu tadi.
Begitu saya tiba di rumahnya,
Astaghfirullah…, terasa menggigil seluruh badan ini, karena melihat keadaan rumah ibu itu.
Rupanya ibu itu hanya tinggal bertiga, dengan ibunya dan puteranya di rumah gubug berlantai tanah. Saya tidak melihat tempat tidur kasur, kursi ruang tamu, apalagi perabot mewah atau barang-barang elektronik.
Yang terlihat hanya dipan kayu beralaskan tikar dan bantal lusuh.
Di atas dipan, tertidur seorang nenek tua kurus.
“Mak… Bangun Mak, nih lihat saya bawa apa?”, kata ibu itu pada nenek yang sedang rebahan sampai akhirnya terbangun.
“Mak, saya sudah belikan Emak kambing buat qurban, nanti kita antar ke Masjid ya mak…”, kata ibu itu dengan penuh kegembiraan.
Si nenek sangat terkaget meski nampak bahagia. Sambil mengelus-elus kambing, nenek itu berucap,
“Alhamdulillah, akhirnya kesampaian juga kalau Emak mau berqurban.”
“Nih Pak, uangnya, maaf ya kalau saya nawarnya kemurahan, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk beli kambing yang saya niatkan buat qurban atas nama ibu saya…”, kata ibu itu.
Kaki ini bergetar, dada terasa sesak, sambil menahan tetes air mata, saya berdoa,
“Ya Allah…, Ampuni dosa hamba, hamba malu berhadapan dengan seorang hambaMu yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan imannya begitu luar biasa.”
“Pak, ini ongkos antar kendaraannya…”, panggil ibu itu.
“Sudah Bu, biar ongkos kendaraannya saya yang bayar.”, kata saya.
Saya cepat pergi sebelum ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah karena tak sanggup mendapat teguran dari Allah yang sudah mempertemukan saya dengan hambaNya, yang dengan kesabaran, ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya.
Sahabatku….
Untuk mulia ternyata tidak perlu harta berlimpah, jabatan tinggi apalagi kekuasaan. Kita bisa belajar keikhlasan dari ibu itu untuk menggapai kemuliaan hidup.
Berapa banyak diantara kita yang diberi kecukupan penghasilan, namun masih saja ada kengganan untuk berqurban, padahal bisa jadi harga handphone, jam tangan, tas, atau pun aksesoris yang menempel di tubuh kita harganya jauh lebih mahal dibandingkan seekor hewan qurban.
Namun… Kita seringkali sembunyi di balik kata tidak mampu atau tidak dianggarkan dananya untuk qurban.
Semoga di tahun ini, dan tahun-tahun yang akan datang, kita semua bisa berqurban ya. Aamiin…
Salam Luar Biasa Prima!
WURYANANO
Twitter: @Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College