Kisah di bawah ini, saya maksudkan sebagai bahan perenungan kita sebagai orang tua, sebagai pembimbing utama anak-anak kita; agar kita bisa memahami bahwa setiap anak memiliki keunggulannya dan keunikan masing-masing. Ada dua macam kisah berbeda saya tulis di bawah ini, dari Guru dan Kepala Sekolah.
Cerita Pertama berikut ini dari seorang Guru.
Di papan tulis, saya menggambar sebatang pohon kelapa di tepi pantai, lalu ada sebutir kelapa yang jatuh dari tangkainya.
Lalu saya minta 4 Murid untuk mengamati fenomena alam jatuhnya buah kelapa di tepi pantai itu, dan menceritakan apa yang terbersit di dalam pikirannya masing-masing.
Murid ke 1:
Dengan cekatan dia mengambil secarik kertas, membuat bidang segi tiga, menentukan sudut, memperkirakan berapa berat kelapa, menggunakan rumus matematikanya, anak ini menjelaskan hasil perhitungan ketinggian pohon kelapa, dan energi potensial yang dihasilkan dari kelapa jatuh itu, lengkap dengan persamaan matematika dan fisika.
Lalu saya bertanya ke murid-murid saya? Apakah anak ini cerdas? Dan mereka serentak menjawab, “Iyaa … dia anak yang cerdas!”
Murid ke 2:
Dengan gesit anak ke dua ini datang memungut kelapa yang jatuh dan bergegas membawanya ke pasar, lalu menawarkan ke pedagang dan dia bersorak gembira, karena kelapa itu laku terjual.
Kembali saya bertanya ke anak-anak di kelas, apakah anak ini cerdas? Anak-anak pun menjawab, “Iyaa … dia anak yang cerdas!”
Murid ke 3:
Dengan cekatan, dia ambil kelapanya, kemudian dia bawa keliling ke orang-orang, sambil menanyakan, pohon kelapa itu milik siapa? Ini kelapanya jatuh mau saya kembalikan kepada yang punya pohon.
Saya bertanya kepada murid-murid, apakah anak ini cerdas? Anak-anak pun dengan mantap menjawab, “Iyaa … dia anak yang cerdas!”
Murid ke 4:
Dengan cekatan, dia mengambil kelapanya, dan dia melihat ada seorang kakek yang tengah kehausan karena kepanasan, dan berteduh di pinggir jalan. Lalu dia menghampiri si kakek, “Kek, ini ada kelapa jatuh, tadi saya menemukannya, kakek boleh meminum dan memakan buah kelapanya.”
Lalu saya kembali bertanya di depan kelas, apakah anak ini cerdas? Murid-murid saya pun menjawab, “Iyaa … dia anak yang cerdas!”
Murid-murid saya menyakini, bahwa semua yang dipikirkan oleh teman-temannya seperti cerita di atas, itu menunjukan anak yang cerdas.
Mereka sebagai anak-anak, secara jujur mengakui bahwa setiap anak memiliki Kecerdasan dan Keunikannya masing-masing, yang menunjukkan keunggulan pribadinya.
Namun, sering terjadi adalah para orang tua dan bahkan sebagian pendidik, menilai kecerdasan anak hanya dari satu sisi. Dan di dunia pendidikan kita, kecerdasan cenderung hanya dilihat dari sisi kecerdasan akademik, berdasarkan Nilai-nilai angka hasil tes akademiknya.
Mari kita lihat:
Murid ke 1, punya Kecerdasan Akademik. Parahnya, adalah kecerdasan ini dianggap sebagai keunggulan anak, yang diukur dari nilai hasil ujian pelajaran sekolah.
Murid ke 2, punya Kecerdasan Finansial, yang pasti sangat bermanfaat bagi masa depannya nanti, sudah mampu memikirkan hal-hal berkaitan dengan keuangan sejak dini.
Murid ke 3, punya Kecerdasan Karakter, yang menunjukkan sikap baik dan menjunjung tinggi kejujuran.
Murid ke 4, punya Kecerdasan Sosial, memperlihatkan kepekaan sosial dan empati kepada orang lain.
Dan, hingga sekarang ini, sekolah bahkan negara pun belum memberikan ruang cukup untuk mendukung, membina, dan mengembangkan kecerdasan-kecerdasan lain, selain kecerdasan akademk. Oleh karena itu, di pihak pendidik, sekolah dan pemerintah, masih suka membedakan perlakuan mereka antara anak jurusan IPA dan IPS.
Sangat penting untuk kita pikirkan bersama, dari pihak sekolah, pemerintah, dan orang tua, untuk mulai mempersiapkan anak-anak dengan 4 Kecerdasan (Akademik, Finansial, Karakter & Sosial) sebagai pedoman mereka dalam menjalani kehidupannya secara sukses.
Cerita Ke Dua berikut ini, berasal dari Kepala Sekolah
Surat seorang Kepala Sekolah di Singapura kepada Orang Tua Murid.
Kepada Para Orang Tua,
Ujian anak Anda akan dimulai sebentar lagi. Saya tahu Anda cemas dan berharap anak Anda berhasil dalam ujiannya.
Tapi, mohon diingat, di tengah-tengah para pelajar yang akan menjalani ujian itu, ada calon Seniman, yang tidak perlu mengerti Matematika.
Ada calon Pengusaha, yang tidak butuh pelajaran Sejarah atau Sastra.
Ada calon Musisi, yang nilai Kimia-nya tak akan berarti.
Ada calon Olahragawan, yang lebih mementingkan ketrampilan fisik daripada ilmu Fisika.
Ada calon Fotografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang seni yang berbeda, dan tentu ilmunya bukan dari sekolah ini.
Sekiranya anak Anda lulus menjadi yang teratas di sekolah ini, hebat! Tapi bila tidak, mohon jangan rampas rasa percaya diri dan harga diri mereka.
Katakan saja: “Tidak apa-apa, itu hanya sekedar ujian.”
Anak-anak itu diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar lagi dalam hidup ini. Anak-anak kita pasti diciptakan oleh Tuhan untuk sanggup mengemban suatu tugas yang dahsyat di dunia ini.
Katakan pada mereka, tidak penting berapa pun nilai ujian mereka, Anda senantiasa mencintai mereka dan tak akan menghakimi mereka.
Lakukanlah ini, dan di saat itu, lihatlah anak Anda menaklukkan dunia. Sebuah ujian atau pun nilai rendah tak kan mencabut impian dan bakat mereka.
Dan mohon, berhentilah berpikir bahwa hanya dokter dan insinyur yang bahagia di dunia ini.
Hormat Saya,
Kepala Sekolah
==============================
Demikian 2 kisah yang patut untuk kita renungkan, sebagai orang tua atau pun pendidik.
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Twitter: @Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College