Wayang dan Keris merupakan warisan leluhur nusantara, yang mampu bertahan dan berkembang selama berabad-abad. Keduanya mengalami perubahan dan perkembangan sampai mencapai bentuknya sekarang ini. Wayang dan Keris telah ada sebelum agama Hindu & Budha menyebar di Asia Selatan.
Diperkirakan seni budaya Wayang dan Keris dibawa masuk oleh para pedagang India dan Vietnam. Kejeniusan lokal dan kebudayaan nusantara, yang ada sebelum masuknya agama Hindu & Budha, terpengaruh oleh seni budaya dari mancanegara, dan memberi warna tersendiri pada seni budaya di Indonesia.
Wayang adalah satu dari berbagai warisan kebudayaan masa lampau di Indonesia. Wayang merupakan salah satu karya seni budaya yang menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Pertunjukan wayang meliputi seni peran, suara, musik, tutur, sastra, lukis, pahat, dan juga seni perlambang.
Empat Teori Asal Usul Wayang
Bicara sejarah asal usul wayang kulit, setidaknya ditemukan Empat Teori Besar. Adanya perbedaan teori atau tafsiran ini, selain disebabkan sedikitnya data dari sumber artefak masa lalu, juga seringkali muncul karena perbedaan disiplin ilmu yang digunakan oleh para ahli untuk mendekati masalah tersebut.
Empat Teori atau tafsiran itu, PERTAMA, asal usul wayang adalah Jawa atau Indonesia. Para peneliti yang meyakini hipotesa itu yaitu: JLA Brandes, GAJ Hazeu, J Kats, Anker Rentse. KEDUA, wayang berasal dari India. Mereka yang berkesimpulan wayang berasal dari India yaitu: R Pichel, Poensen, Goslings, dan Rassers.
KETIGA, yang menyimpulkan asal usul wayang merupakan perpanduan antara Jawa dan India, adalah J Krom dan WH Rassers. KE-EMPAT, wayang berasal dari Cina, yang punya kesimpulan itu adalah G Schlegel.
Perdebatan teoritis itu bersumber dari ketidakpastian historis, atau merupakan fenomena lumrah dalam setiap kajian ilmu sosial humaniora, toh senyatanya tak mengurangi makna wayang bagi masyarakat Indonesia.
Hipotesa UNESCO
Di sini ada hal menarik untuk disimak. Sejak 7 November 2003, UNESCO telah mengakui pertunjukan Wayang Kulit sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Dalam sinopsisnya tersebut, sekali pun tidak memberikan justifikasi teoritis dan historis didasarkan pada tokoh tertentu, UNESCO jelas mengakui seni mendongeng kuna ini berasal dari Indonesia. Jadi sejak tahun 2003, Wayang sudah diterima oleh UNESCO sebagai karya agung non-bendawi.
Usia seni pertunjukan ini, merujuk UNESCO, disebut telah berkembang selama sepuluh abad di istana Kerajaan Jawa dan Bali, dan kini telah menyebar ke pulau lain seperti Lombok, Madura, Sumatra, dan Kalimantan. Asumsi “sepuluh abad” sebagai pilihan UNESCO melihat sejarah perkembangan tradisi wayang, didasarkan pada Prasasti Balitung dari abad ke-10 (903 M).
Dalam prasasti ini tertulis inskripsi “Si Galigi Mawayang Buat Hyang Macarita Bimma Ya Kumara”. Kalimat ini berarti “Galigi mengadakan pertunjukan Hyang dengan mengambil cerita Bhimma Muda.”
Asal Usul KERIS
Demikian juga kata “Kris” sudah tertulis dalam beberapa prasasti kuna. Relief keris dapat ditemukan di Candi Borobudur pada abad ke-8, Candi Prambanan pada abad ke-9, atau patung lelaki Jawa dengan keris di pemandian Candi Letha pada abad ke-15. Keris juga terlihat pada relief di candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi Jago dibangun sekitar abad ke-13.
Didaftarkan ke UNESCO
Pada 2004, Indonesia mengusulkan Keris sebagai karya agung warisan manusia kepada United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
UNESCO telah menyebut keris sebagai a distinctive, asymmetrical dagger from Indonesia.
Keris sebagai Warisan Budaya
UNESCO menetapkan keris sebagai salah satu warisan budaya yang mesti dilestarikan di Paris pada 25 November 2005.
“Masih hidup dan dihayati, tradisi masih berlanjut. Berbeda dengan budaya samurai di Jepang yang kini sudah mati,” ungkap Direktur Jenderal Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) Koichiro Matsuura, seperti diberitakan Harian Kompas pada 20 Desember 2005.
Wayang dan Keris sebagai Alat Pendidikan
Wayang dan Keris berkembang, karena menjadi hiburan dan senjata piyandel (mengandung makna supranatural dan spiritual), yang digemari oleh masyarakat nusantara pada saat itu.
Selain itu, Wayang dan Keris juga mempunyai peranan sebagai alat pendidikan dan komunikasi langsung antara pemimpin, tokoh masyarakat, para empu dengan warga masyarakatnya.
Pewayangan dan perkerisan mempunyai peran cukup besar dalam pendidikan budaya di Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia dan menyesuaikan kebudayaan yang sudah ada, seni budaya ini menjadi media efektif penyebaran agama Hindu.
Pertunjukan Wayang menggunakan kisah dalam cerita Ramayana dan Mahabharata.
Di pulau Bali, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu Sanata Dharma, seni wayang dan keris juga masih tetap lestari.
Wayang dan Keris sendiri, awalnya merupakan peninggalan jaman Kerajaan Hindu dan Budha. Kemudian saat Agama Islam masuk di Nusantara, Wali Sanga tetap melestarikannya, namun diubah cara pandang dan pemaknaannya. Keduanya menjadi sarana mendidik masyarakat, yang kala itu sudah mulai merosot spiritualismenya.
Para mubaligh mampu merangkul masyarakat nusantara dengan tetap berpegang pada kearifan lokal. Mereka sadar bahwa pertunjukan wayang dan budaya keris, telah berakar kuat di masyarakat.
Maka para Wali, khususnya Sunan Kalijaga pun mencapai kesimpulan untuk menyempurnakan seni wayang dan keris, diisi dengan nilai-nilai budi pekerti luhur bernafaskan keIslaman.
Satu cara jitu mengambil hati masyarakat adalah dengan mempersonifikasikan, memanusiakan Tokoh Pandawa Lima dalam kisah Mahabharata dari India, sehingga oleh Sunan Kalijaga mengaitkannya dengan Rukun Islam.
- Puntadewa sebagai Syahadat.
- Werkudara sebagai Shalat.
- Arjuna sebagai Puasa.
- Nakula-Sadewa sebagai Zakat dan Haji.
Wallahu a’lam bishshawab.
Salam Luar Biasa Prima!
Wuryanano
Twitter: @Wuryanano
Owner SWASTIKA PRIMA Entrepreneur College